Jumat, 11 Maret 2011

terjadinya tsunami by hendra purnama

Tsunami
Simulasi Tsunami
Desember 2004
Gambar Tsunami
menurut Hokusai,
seorang pelukis
Jepang dari abad
ke 19.
Tsunami yang
menghantam Malé,
Maladewa pada 26
Desember 2004
Tsunami (bahasa
Jepang: 津波; tsu =
pelabuhan, nami =
gelombang, secara
harafiah berarti
"ombak besar di
pelabuhan") adalah
perpindahan badan
air yang disebabkan
oleh perubahan
permukaan laut
secara vertikal
dengan tiba-tiba.
Perubahan
permukaan laut
tersebut bisa
disebabkan oleh
gempa bumi yang
berpusat di bawah
laut, letusan gunung
berapi bawah laut,
longsor bawah laut,
atau atau hantaman
meteor di laut.
Gelombang tsunami
dapat merambat ke
segala arah. Tenaga
yang dikandung
dalam gelombang
tsunami adalah tetap
terhadap fungsi
ketinggian dan
kelajuannya. Di laut
dalam, gelombang
tsunami dapat
merambat dengan
kecepatan 500-1000
km per jam. Setara
dengan kecepatan
pesawat terbang.
Ketinggian gelombang
di laut dalam hanya
sekitar 1 meter.
Dengan demikian, laju
gelombang tidak
terasa oleh kapal
yang sedang berada
di tengah laut. Ketika
mendekati pantai,
kecepatan gelombang
tsunami menurun
hingga sekitar 30 km
per jam, namun
ketinggiannya sudah
meningkat hingga
mencapai puluhan
meter. Hantaman
gelombang Tsunami
bisa masuk hingga
puluhan kilometer
dari bibir pantai.
Kerusakan dan
korban jiwa yang
terjadi karena
Tsunami bisa
diakibatkan karena
hantaman air maupun
material yang
terbawa oleh aliran
gelombang tsunami.
Dampak negatif yang
diakibatkan tsunami
adalah merusak apa
saja yang dilaluinya.
Bangunan, tumbuh-
tumbuhan, dan
mengakibatkan
korban jiwa manusia
serta menyebabkan
genangan,
pencemaran air asin
lahan pertanian,
tanah, dan air bersih.
Sejarawan Yunani
bernama Thucydides
merupakan orang
pertama yang
mengaitkan tsunami
dengan gempa bawah
lain. Namun hingga
abad ke-20,
pengetahuan
mengenai penyebab
tsunami masih sangat
minim. Penelitian
masih terus dilakukan
untuk memahami
penyebab tsunami.
Teks-teks geologi,
geografi, dan
oseanografi di masa
lalu menyebut
tsunami sebagai
"gelombang laut
seismik".
Beberapa kondisi
meteorologis, seperti
badai tropis, dapat
menyebabkan
gelombang badai
yang disebut sebagai
meteor tsunami yang
ketinggiannya
beberapa meter
diatas gelombang laut
normal. Ketika badai
ini mencapai daratan,
bentuknya bisa
menyerupai tsunami,
meski sebenarnya
bukan tsunami.
Gelombangnya bisa
menggenangi daratan.
Gelombang badai ini
pernah menggenangi
Burma (Myanmar)
pada Mei 2008.
Wilayah di sekeliling
Samudra Pasifik
memiliki Pacific
Tsunami Warning
Centre (PTWC) yang
mengeluarkan
peringatan jika
terdapat ancaman
tsunami pada wilayah
ini. Wilayah di
sekeliling Samudera
Hindia sedang
membangun Indian
Ocean Tsunami
Warning System
(IOTWS) yang akan
berpusat di Indonesia.
Bukti-bukti historis
menunjukkan bahwa
megatsunami
mungkin saja terjadi,
yang menyebabkan
beberapa pulau dapat
tenggelam
Terminologi
Kata tsunami berasal
dari bahasa jepang,
tsu berarti pelabuhan,
dan nami berarti
gelombang. Tsunami
sering terjadi Jepang.
Sejarah Jepang
mencatat setidaknya
195 tsunami telah
terjadi.
Pada beberapa
kesempatan, tsunami
disamakan dengan
gelombang pasang.
Dalam tahun-tahun
terakhir, persepsi ini
telah dinyatakan tidak
sesuai lagi, terutama
dalam komunitas
peneliti, karena
gelombang pasang
tidak ada
hubungannya dengan
tsunami. Persepsi ini
dahulu populer
karena penampakan
tsunami yang
menyerupai
gelombang pasang
yang tinggi.
Tsunami dan
gelombang pasang
sama-sama
menghasilkan
gelombang air yang
bergerak ke daratan,
namun dalam
kejadian tsunami,
gerakan gelombang
jauh lebih besar dan
lebih lama, sehingga
memberika kesan
seperti gelombang
pasang yang sangat
tinggi. Meskipun
pengartian yang
menyamakan dengan
"pasang-surut"
meliputi "kemiripan"
atau "memiliki
kesamaan karakter"
dengan gelombang
pasang, pengertian ini
tidak lagi tepat.
Tsunami tidak hanya
terbatas pada
pelabuhan. Karenanya
para geologis dan
oseanografis sangat
tidak
merekomendasikan
untuk menggunakan
istilah ini.
Hanya ada beberapa
bahasa lokal yang
memiliki arti yang
sama dengan
gelombang merusak
ini. Aazhi Peralai
dalam Bahasa Tamil,
ië beuna atau alôn
buluëk (menurut
dialek) dalam Bahasa
Aceh adalah
contohnya. Sebagai
catatan, dalam
bahasa Tagalog versi
Austronesia, bahasa
utama di Filipina, alon
berarti "gelombang".
Di Pulau Simeulue,
daerah pesisir barat
Sumatra, Indonesia,
dalam Bahasa
Defayan, smong
berarti tsunami.
Sementara dalam
Bahasa Sigulai, emong
berarti tsunami.
Penyebab terjadinya
tsunami
Skema terjadinya
tsunami
Tsunami dapat terjadi
jika terjadi gangguan
yang menyebabkan
perpindahan sejumlah
besar air, seperti
letusan gunung api,
gempa bumi, longsor
maupun meteor yang
jatuh ke bumi.
Namun, 90% tsunami
adalah akibat gempa
bumi bawah laut.
Dalam rekaman
sejarah beberapa
tsunami diakibatkan
oleh gunung meletus,
misalnya ketika
meletusnya Gunung
Krakatau.
Gerakan vertikal pada
kerak bumi, dapat
mengakibatkan dasar
laut naik atau turun
secara tiba-tiba, yang
mengakibatkan
gangguan
keseimbangan air
yang berada di
atasnya. Hal ini
mengakibatkan
terjadinya aliran
energi air laut, yang
ketika sampai di
pantai menjadi
gelombang besar
yang mengakibatkan
terjadinya tsunami.
Kecepatan
gelombang tsunami
tergantung pada
kedalaman laut di
mana gelombang
terjadi, dimana
kecepatannya bisa
mencapai ratusan
kilometer per jam.
Bila tsunami
mencapai pantai,
kecepatannya akan
menjadi kurang lebih
50 km/jam dan
energinya sangat
merusak daerah
pantai yang dilaluinya.
Di tengah laut tinggi
gelombang tsunami
hanya beberapa cm
hingga beberapa
meter, namun saat
mencapai pantai
tinggi gelombangnya
bisa mencapai
puluhan meter karena
terjadi penumpukan
masa air. Saat
mencapai pantai
tsunami akan
merayap masuk
daratan jauh dari
garis pantai dengan
jangkauan mencapai
beberapa ratus meter
bahkan bisa beberapa
kilometer.
Gerakan vertikal ini
dapat terjadi pada
patahan bumi atau
sesar. Gempa bumi
juga banyak terjadi di
daerah subduksi,
dimana lempeng
samudera menelusup
ke bawah lempeng
benua.
Tanah longsor yang
terjadi di dasar laut
serta runtuhan
gunung api juga dapat
mengakibatkan
gangguan air laut
yang dapat
menghasilkan
tsunami. Gempa yang
menyebabkan
gerakan tegak lurus
lapisan bumi.
Akibatnya, dasar laut
naik-turun secara
tiba-tiba sehingga
keseimbangan air laut
yang berada di
atasnya terganggu.
Demikian pula halnya
dengan benda kosmis
atau meteor yang
jatuh dari atas. Jika
ukuran meteor atau
longsor ini cukup
besar, dapat terjadi
megatsunami yang
tingginya mencapai
ratusan meter.
Gempa yang
menyebabkan
tsunami
Gempa bumi yang
berpusat di tengah
laut dan dangkal (0 -
30 km)
Gempa bumi dengan
kekuatan sekurang-
kurangnya 6,5 Skala
Richter
Gempa bumi dengan
pola sesar naik atau
sesar turun
Sistem Peringatan Dini
Banyak kota-kota di
sekitar Pasifik,
terutama di Jepang
dan juga Hawaii,
mempunyai sistem
peringatan tsunami
dan prosedur
evakuasi untuk
menangani kejadian
tsunami. Bencana
tsunami dapat
diprediksi oleh
berbagai institusi
seismologi di
berbagai penjuru
dunia dan proses
terjadinya tsunami
dapat dimonitor
melalui perangkat
yang ada di dasar atu
permukaan laut yang
terknoneksi
dengan satelit.
Perekam tekanan di
dasar laut bersama-
sama
denganperangkat
yang mengapung di
laut buoy, dapat
digunakan untuk
mendeteksi
gelombang yang tidak
dapat dilihat oleh
pengamat manusia
pada laut dalam.
Sistem sederhana
yang pertama kali
digunakan untuk
memberikan
peringatan awal akan
terjadinya tsunami
pernah dicoba di
Hawai pada tahun
1920-an. Kemudian,
sistem yang lebih
canggih
dikembangkan lagi
setelah terjadinya
tsunami besar pada
tanggal 1 April 1946
dan 23 Mei 1960.
Amerika serikat
membuat Pasific
Tsunami Warning
Center pada tahun
1949, dan
menghubungkannya
ke jaringan data dan
peringatan
internasional pada
tahun 1965.
Salah satu sistem
untuk menyediakan
peringatan dini
tsunami, CREST
Project, dipasang di
pantai Barat Amerika
Serikat, Alaska, dan
Hawai oleh USGS,
NOAA, dan Pacific
Northwest
Seismograph
Network, serta oleh
tiga jaringan seismik
universitas.
Hingga kini, ilmu
tentang tsunami
sudah cukup
berkembang,
meskipun proses
terjadinya masih
banyak yang belum
diketahui dengan
pasti. Episenter dari
sebuah gempa bawah
laut dan
kemungkinan
kejadian tsunami
dapat cepat dihitung.
Pemodelan tsunami
yang baik telah
berhasil
memperkirakan
seberapa besar tinggi
gelombang tsunami di
daerah sumber,
kecepatan
penjalarannya dan
waktu sampai di
pantai, berapa
ketinggian tsunami di
pantai dan seberapa
jauh rendaman yang
mungkin terjadi di
daratan. Walaupun
begitu, karena faktor
alamiah, seperti
kompleksitas
topografi dan
batimetri sekitar
pantai dan adanya
corak ragam tutupan
lahan (baik
tumbuhan, bangunan,
dll), perkiraan waktu
kedatangan tsunami,
ketinggian dan jarak
rendaman tsunami
masih belum bisa
dimodelkan secara
akurat.
Sistem Peringatan Dini
Tsunami di Indonesia
Pemerintah Indonesia,
dengan bantuan
negara-negara donor,
telah
mengembangkan
Sistem Peringatan Dini
Tsunami Indonesia
(Indonesian Tsunami
Early Warning System
- InaTEWS). Sistem ini
berpusat pada Badan
Meteorologi,
Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) di
Jakarta. Sistem ini
memungkinkan
BMKG mengirimkan
peringatan tsunami
jika terjadi gempa
yang berpotensi
mengakibatkan
tsunami. Sistem yang
ada sekarang ini
sedang
disempurnakan.
Kedepannya, sistem
ini akan dapat
mengeluarkan 3
tingkat peringatan,
sesuai dengan hasil
perhitungan Sistem
Pendukung
Pengambilan
Keputusan (Decision
Support System -
DSS).
Pengembangan
Sistem Peringatan Dini
Tsunami ini
melibatkan banyak
pihak, baik instansi
pemerintah pusat,
pemerintah daerah,
lembaga
internasional,
lembaga non-
pemerintah.
Koordinator dari
pihak Indonesia
adalah Kementrian
Negara Riset dan
Teknologi(RISTEK).
Sedangkan instansi
yang ditunjuk dan
bertanggung jawab
untuk mengeluarkan
INFO GEMPA dan
PERINGATAN
TSUNAMI adalah
BMKG (Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika). Sistem ini
didesain untuk dapat
mengeluarkan
peringatan tsunami
dalam waktu paling
lama 5 menit setelah
gempa terjadi.
Sistem Peringatan Dini
memiliki 4 komponen:
Pengetahuan
mengenai Bahaya dan
Resiko, Peramalan,
Peringatan, dan
Reaksi.Observasi
(Monitoring gempa
dan permukaan laut),
Integrasi dan
Diseminasi Informasi,
Kesiapsiagaan.
Cara Kerja
Sebuah Sistem
Peringatan Dini
Tsunami adalah
merupakan rangkaian
sistem kerja yang
rumit dan melibatkan
banyak pihak secara
internasional,
regional, nasional,
daerah dan bermuara
di Masyarakat.
Apabila terjadi suatu
Gempa, maka
kejadian tersebut
dicatat oleh alat
Seismograf (pencatat
gempa). Informasi
gempa (kekuatan,
lokasi, waktu
kejadian) dikirimkan
melalui satelit ke
BMKG Jakarta.
Selanjutnya BMG
akan mengeluarkan
INFO GEMPA yang
disampaikan melalui
peralatan teknis
secara simultan. Data
gempa dimasukkan
dalam DSS untuk
memperhitungkan
apakah gempa
tersebut berpotensi
menimbulkan
tsunami. Perhitungan
dilakukan
berdasarkan jutaan
skenario modelling
yang sudah dibuat
terlebih dahulu.
Kemudian, BMKG
dapat mengeluarkan
INFO PERINGATAN
TSUNAMI. Data
gempa ini juga akan
diintegrasikan dengan
data dari peralatan
sistem peringatan dini
lainnya (GPS, BUOY,
OBU, Tide Gauge)
untuk memberikan
konfirmasi apakah
gelombang tsunami
benar-benar sudah
terbentuk. Informasi
ini juga diteruskan
oleh BMKG. BMKG
menyampaikan info
peringatan tsunami
melalui beberapa
institusi perantara,
yang meliputi
(Pemerintah Daerah
dan Media). Institusi
perantara inilah yang
meneruskan informasi
peringatan kepada
masyarakat. BMKG
juga menyampaikan
info peringatan
melalui SMS ke
pengguna ponsel
yang sudah terdaftar
dalam database
BMKG. Cara
penyampaian Info
Gempa tersebut
untuk saat ini adalah
melalui SMS,
Facsimile, Telepon,
Email, RANET (Radio
Internet), FM RDS
(Radio yang
mempunyai fasilitas
RDS/Radio Data
System) dan melalui
Website BMG
(www.bmg.go.id).
Pengalaman serta
banyak kejadian
dilapangan
membuktikan bahwa
meskipun banyak
peralatan canggih
yang digunakan,
tetapi alat yang paling
efektif hingga saat ini
untuk Sistem
Peringatan Dini
Tsunami adalah
RADIO. Oleh sebab
itu, kepada
masyarakat yang
tinggal didaerah
rawan Tsunami
diminta untuk selalu
siaga mempersiapkan
RADIO FM untuk
mendengarkan berita
peringatan dini
Tsunami. Alat lainnya
yang juga dikenal
ampuh adalah Radio
Komunikasi Antar
Penduduk. Organisasi
yang mengurusnya
adalah RAPI (Radio
Antar Penduduk
Indonesia). Mengapa
Radio ? jawabannya
sederhana, karena
ketika gempa
seringkali mati lampu
tidak ada listrik. Radio
dapat beroperasi
dengan baterai. Selain
itu karena ukurannya
kecil, dapat dibawa-
bawa (mobile). Radius
komunikasinyapun
relatif cukup
memadai.